Hasil penelitian in vitro terhadap kontraksi usus dengan menggunakan usus marmut menunjukkan, rebusan daun jambu biji konsentrasi 5%, 10%, dan 20% dapat mengurangi kontraksi usus halus (Natsir, 1986). Sedang penelitian terhadap kemampuan rebusan daun jambu biji dalam menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia colli dan Staphylococcus aureus menunjukkan, kadar terendah 2% dapat menghambat pertumbuhan S. aureus dan dalam kadar 10% dapat menghambat pertumbuhan E. colli. Hasil penelitian itu dapat digunakan sebagai dasar penggunaan daun jambu biji sebagai obat diare akibat infeksi (Yuniarti, 1991).
Zat aktif dalam daun jambu yang dapat mengobati diare adalah tanin. Dalam penelitian terhadap daun kering jambu biji yang digiling halus diketahui, kandungan taninnya sampai 17,4%. Makin halus serbuk daunnya, makin tinggi kandungan taninnya. Senyawa itu bekerja sebagai astrengent, yaitu melapisi mukosa usus, khususnya usus besar. Tanin juga menjadi penyerap racun dan dapat menggumpalkan protein.
Cara penyajiannya :
- Sejumlah 15 - 30 g daun kering jambu biji dalam air sebanyak 150 - 300 ml. Perebusan dilakukan selama 15 menit setelah air mendidih. Hasil rebusan disaring dan siap untuk diminum sebagai obat diare. Bila ingin memanfaatkannya dalam bentuk segar, diperlukan 12 lembar daun segar, dicuci bersih, ditumbuk halus, ditambah ½ cangkir air masak dan garam secukupnya. Hasil tumbukan diperas, disaring, lalu diminum. Supaya terasa enak, ke dalamnya bisa ditambahkan madu.
- Sediakan 1/2 jari kunyit yang sudah bersih dibakar, dipotong-potong, 7 pucuk daun jambu biji, air 2 gelas, dan garam 1/4 sendok teh, rebus dengan api kecil. Minum airnya, 1 sendok teh satu jam sekali. Untuk mengusir gas, maka pusarnya ditapeli dengan parutan bawang merah yang sudah diberi minyak telon. Untuk anak yang sudah agak besar, boleh juga dengan mengunyah halus pucuk daun jambu klutuk yang sudah bersih ditambah garam lalu ditelan. (Sumber: perempuan.com dan dari berbagai sumber lainnya)
Daun Salam (Eugenia polyantha Weight.).
Bahan lain yang juga cukup dikenal dan memiliki kemampuan mengusir diare adalah daun salam (Eugenia polyantha Weight.). Bahkan daun yang dikenal sebagai bagian bumbu dapur ini telah lama dikenal masyarakat kita sebagai obat diare alami. Tanaman salam mengandung tanin, minyak asiri dengan sitral dan eugenol di dalamnya, serta flavonoid. Selain daun, kulit pohon dan buah juga bisa digunakan sebagai obat diare.
Dalam penelitian menggunakan hewan percobaan kelinci terbukti, rebusan daun salam dapat menurunkan kontraksi otot polos usus. Penelitian menggunakan tikus yang sengaja dibuat diare dengan pemberian minyak jarak oleh Adjirni (1996) juga membuktikan, infus 90 dan 270 mg/100g bobot badan (BB) telah menunjukkan efek antidiare. Efek ini sebanding dengan loperamid 0,12 mg/100 g BB. Efek antidiare daun salam ini muncul berkat kandungan tanin di dalamnya.
Penelitian lain menguji daya antibakteri minyak asiri daun salam dengan menggunakan bakteri E. colli dan S. aureus. Dari penelitian diketahui, pengaruh buruk E. colli bisa dihambat dengan konsentrasi minimal 40% dan terhadap S. aureus pada kadar 50%.
Cara Penyajiannya :
Untuk membuat obat diare dari daun salam diperlukan 10 lembar dauan setengah tua dan dua jari tangan kulit pohonnya. Bahan dicuci dan direbus di dalam dua gelas air hingga tinggal dua per tiganya. Sesudah dingin, diminum dengan madu secukupnya. Dosisnya, 2 - 3 kali sehari, masing-masing ¾ gelas.
Lempunyang Gajah (Zingiber zerumbet SM)
Lempuyang Gajah adalah tumbuhan basah yang tingginya sampai 1,5 m ini, di Indonesia dikenal juga dengan nama lempuyang kerbau, lempuyang kapur, atau lempuyang paek. Bagian yang digunakan sebagai obat diare adalah rimpangnya. Rimpang lempuyang gajah termasuk besar, pucat bagian luarnya dan kuning muda bagian dalamnya. Rimpang itu mengandung alkaloid, flavonoid, minyak asiri, dan saponin.
Menurut hasil penelitian, seduhan (infusum) lempuyang gajah dapat menurunkan kontraksi otot polos usus kelinci. Penurunan kontraksi otot polos usus itu menunjukkan, lempuyang gajah dapat dipakai sebagai obat diare yang disebabkan oleh kontraksi otot polos usus yang kuat, misalnya akibat rangsangan zat kimia, protein asing, atau mikroba (Sumastuti, 1996).
Penelitian antidiare menggunakan tikus yang dibuat diare dengan memberikan minyak jarak, juga dilakukan oleh Sa’roni dkk. Hasilnya menunjukkan, infus 37,6 mg/100 g BB telah menunjukkan efek antidiare. Sedangkan pada dosis 376 mg/100 g BB efeknya sebanding dengan loperamid 0,12 mg/100 g BB (Sa’roni dkk., 1997).
Sedangkan penelitian daya antibakteri dari minyak asiri lempuyang gajah terhadap bakteri penyebab diare, yaitu E. colli dan Vibrio cholera, menunjukkan lempuyang gajah dapat menghambat pertumbuhan bakteri itu, sehingga penggunaan rimpang ini beralasan sebagai obat diare (Sabu, E.K. dkk., 1996).
Daun katu
Daun katu ternyata tak hanya berkhasiat sebagai pelancar ASI (air susu ibu), tetapi juga memiliki kemampuan mengobati diare. Daun katu mengandung protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, vitamin A, B, dan C, senyawa steroid, polifenol. Ekstrak alkoholik daun katu dengan konsentrasi 25%, 30%, 35%, dan 40% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella thypi, sehingga dapat dikatakan daun katu mempunyai khasiat sebagai obat diare. Penelitian lain dengan menggunakan hewan tikus putih yang dibuat diare dengan minyak jarak membuktikan adanya efek antidiare pada dosis 85, 225, dan 850 mg/100 g bobot badan (Wien, 1997).
Sayangnya, cara menggunakan dan dosis penggunaan lempuyang gajah dan daun katu untuk manusia secara pasti masih belum ditemukan. Kalau pun ada, biasanya dosis itu ditemukan berdasarkan pengalaman menggunakan cara rebusan atau seduhan.
Yang perlu diingat, tanaman obat apa pun yang dipilih untuk menyembuhkan diare sebaiknya penggunaannya dilakukan dengan bijaksana. Penggunaannya juga diutamakan hanya untuk orang dewasa, remaja, dan anak-anak. Bila setelah mengupayakan penyembuhan dengan tanaman obat selama tiga hari belum menunjukkan hasil, sebaiknya penderita segera dibawa ke dokter atau ke rumah sakit.
Sumber : http://www.indomedia.com/intisari/1998/november/alternatif.html (M. Wien Winarno, peneliti pada Puslitbang Farmasi, Balitbang Kesehatan, Departemen Kesehatan RI)